Oleh Muhajir Juli
Saat pertama masuk ke dalam organisasi di kampus,
seorang teman bertanya kepada saya yang intinya mengapa saya memilih ikut
berorganisasi? Bukankah itu akan mengganggu kuliah? Tidakkah itu hanya membuang-buang
waktu saja.
Saat itu saya agak bingung hendak menjawab apa. sebab
memang saya tidak mengira si teman akan mengajukan pertanyaan yang demikian.
Sederhana namun menusuk. Yang dia tanyakan substansial, walau tidak menggunakan
kalimat penuh kata ilmiah.
Agar segera terbebas dari pertanyaan itu, saya
kemudian menjawab, bahwa masuknya saya kedalam organisasi kampus, bertujuan
untuk belajar hal lain yang tidak saya dapatkan di dalam ruang kuliah.
Mendengar saya menjawab demikian. Dia lantas bertanya. Apasih pentingnya ilmu
organisasi itu? Dan pertanyaan itu tidak saya jawab. Sebab dia tidak lagi
bermaksud ingin tahu, tetapi lebih kepada ingin mendebat saya.
Akhirnya, hari-hari selanjutnya saya habiskan untuk
kuliah dan organisasi. Tekad saya saat itu, organisasi haruslah menjadi batu
pijakan agar saya menjadi seseorang yang punya pengaruh dan dianggap penting
oleh orang lain. Maka satu persatu anak tangga organisasi saya tapaki.
Tak ada satu pendidikan pengkaderan pun saya lewati.
Training leadership, training menulis serta berbagai training lainnya terus
saya ikuti dengan penuh keyakinan. Saya selalu bertekad, setiap training yang
saya ikuti, bilapun saya tidak menjadi yang terbaik, namun setidaknya saya
menjadi salah seorang peserta yang aktif.
Tidak sekedar training in class, training out
door juga saya lahap. Demontrasi mahasiswa saya jadikan sebagai media
belajar. Bahkan, hanya satu kali saja saya berperan sebagai pasukan dalam
berdemo. Untuk selanjutnya, tampuk pemimpin demo saya ambil alih. Kondisi ini
berlangsung beberapa tahun.
Efeknya apa? media mulai mempublikasi aktivitas saya
tersebut. Foto, statemen, serta gambar saya dimuat oleh berbagai media.
Akhirnya, saya dikenal dimana-mana. Bahkan tidak jarang orang menegur saya bila
berpapasan dijalan. Padahal saya tidak mengenali orang tersebut.
Apakah itu adalah tujuan saya? Bukan. Itu adalah
bagian dari tangga yang harus saya lalui. Terkenal adalah “resiko”. Yang paling
penting dari semua proses itu adalah saya semakin banyak mempunyai ilmu,
koneksi dll.
Lalu untuk apa semua itu. jelas untuk kemudahan hidup
saya dan semoga bisa membantu orang lain. Lalu dampak paling dekat dengan saya
apa? ya saya punya pekerjaan yang cukup mentereng untuk ukuran saya saat ini,
tanpa harus antri mendaftar di bursa kerja. Tanpa harus mengemis minta posisi
dengan janji membayar sejumlah uang.
Bahkan untuk beberapa bagian hidup, dengan ilmu yang
saya miliki, saya mampu mempengaruhi beberapa kebijakan yang pernah dilahirkan
untuk menekan orang kecil, agar berubah menjadi kebijakan yang ramah kepada
siapa saja.
Untuk beberapa hal, memang saya pribadi yang
menikmati. Misalkan sampai dengan saat ini, polisi nakal selalu gagal memeras
saya. PNS yang bekerja dikantor pemerintah selalu tidak berhasil meminta jatah
liar dari saya.
Yang fenomena tentu adalah aksi solo saya berhasil
mengubah kebijakan kampus yang tadinya sangat menyiksa mahasiswa KKM, menjadi
sebuah kebijakan yang membuat lahirnya nilai-nilai keadilan. Aksi solo ini
berujung pada terbebasnya ribuan mahasiswa leting saya dari “cupet iku” yang
dilakukan oleh pihak kampus.
Apa yang saya rasakan sekarang, adalah buah dari
perjuangan saya dalam upaya menuntut ilmu “lain” yang dianggap bodoh oleh
kebanyakan mahasiswa. Saya tidak mau mengekang diri dengan hanya belajar ilmu
jurusan. Sebab ilmu diluar jurusan saya, khususnya ilmu sosial, politik dan
hukum, merupakan pengetahuan yang berhubungan langsung dengan kehidupan sosial.
Tanpa ketiga ilmu itu, saya pastikan anda akan menjadi ureung bulut (orang bodoh-pen)
yang akan selalu menjadi sasaran mereka yang salah menggunakan jabatan dan
kepintarannya.
Lalu, anda tentu akan bertanya, kan banyak mahasiswa
yang berorganisasi, tapi kok biasa-biasa aja? Hehehe. Benar sekali. Yang
demikian itu bagian dari barisan bulut yang masuk organisasi hanya ingin
mencari tempat pelarian karena tak kunjung paham materi kuliah. Atau malas
kuliah, namun kadung menjadi mahasiswa. Saya jamin, sampai tuapun, manusia yang
demikian tidak akan berubah. Dia akan abadi sebagai bagian ureueng bulut.
Jadi, masihkan anda mencari alasan untuk tidak
berorganisasi? Mari menolak menjadi mahasiswa bulut. Saya sudah merasakan
dampak positif setelah menolak menjadi bagian dari mahasiswa bulut.
Penulis adalah peminat kajian sosial, politik dan hukum.
Sekarang bekerja di Koalisi NGO HAM dan redaktur koran online The Globe
Journal. Pernah aktif di LPM Suara Almuslim, SiMAk Unimus dan Pema Umuslim.
Email: muhajirjuli@gmail.com. Facebook: Muhajir Juli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar