Aku dan Kisahku

(“Bahkan Aku Lupa Rasanya Diperhatikan”)

Oleh: Mutia Zuhra

Matahari sudah terbenam ketika aku keluar rumah. Tepatnya jam 6.30 sore. Hampir setiap hari aku keluar malam dan pulang menjelang pagi. Jujur saja, aku lebih senang berada diluar rumah daripada dirumah. Jika bagi kebanyakan remaja sepertiku mengatakan rumah itu adalah tempat paling nyaman, maka rumah adalah neraka bagiku. Betapa tidak, cacian, hinaan, makian serta cemoohan itu adalah makanan sehari-hari yang harus ku telan dengan sangat-sangat pahit. Bahkan aku lupa kapan terakhir mereka memanggilku dengan nama asliku. Kata mereka, aku ini anak pembawa sial dan akulah yang menyebabkan ibu meninggal. Padahal aku berani bersumpah demi apapun kalau bukan aku yang menyebabkan ibu meninggal. Apa mereka mendengarkanku? Tidak! Mereka tidak pernah mendengar kenyataan dari mulutku.
Tujuanku malam ini ingin bertemu dengan kenalan baruku. Ketika aku ingin menyebarang jalan, tanpa sengaja aku menabrak seorang remaja, pakaiannya longgar, jilbab ungu dan gamis hitam membuatnya terlihat sangat cantik, terlebih kulitnya putih bening.

 “ Maafkan saya,..” itu kalimat singkat yang dia ucapkan sebelum dia berlalu dihadapanku.
Belum sempat kujawab dia sudah berada 5 meter jauh dariku. Aku memandangnya hingga ia berbelok ke arah sebuah masjid. Seketika aku teringat akan diriku sewaktu tiga tahun silam. Begitulah cerminan diriku, dulu. Tubuh yang cukup ideal untuk remaja seusiaku aku tutup rapi dengan pakaian-pakaian yang dijahit sendiri oleh ibuku. Jilbab yang selalu menutup rambut lurusku. Namun, itu masa lalu bagiku. Peristiwa yang tak akan pernah bisa aku lupakan dalam hidupkulah yang membuatku berubah. Kini, aku tidak lagi mengenal apa itu jilbab apalagi pakaian-pakaian yang menjuntai ke bawah itu. Lihat aku sekarang, rambut lurus sebahu, baju tak berlengan dengan rok di atas lutut serta sepatu tinggi menjadi andalanku. Jika dulu aku tahu siapa saja nama guru yang mengajar di TPA dekat masjid, maka sekarang aku lebih menghafal nama-nama bar yang ada di kota tempat tinggalku.
            Tidak usah aku ceritakan secara jelas tentang siapa aku yang sekarang. Kematian ibu, kejahatan kakak dan bapak tiriku serta kebejatan yang dilakukan oleh abang tiriku yang membuat aku seperti sekarang ini. Mereka itu licik, lebih licik dari apapun. Yang mereka harapkan cuma harta ibu saja. Tidak lebih. Mungkin mereka telah merancang semuanya menjadi semacam sandirwara yang akan siap mereka perankan dalam kehidupan kami guna untuk menghancurkan keluarga kami. Ketika aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA, ayah meninggal karena serangan jantung dan semua aset kekayaan ayah dilimpahkan kepada aku dan ibu. Setelah aku lulus SMA, ada seorang duda yang memiliki 2 anak melamar ibu untuk menjadi istrinya. Ibu sudah lebih kenal terlebih dahulu dengan duda itu sampai akhirnya ibu menikah dengan duda itu tidak lama sebelum aku masuk perguruan tinggi.
            Ibu memutuskan agar ayah dan saudara tiriku tinggal dirumah kami dan merekapun setuju. Tahun pertama mereka berada bersama kami, mereka baik dan sangat memanjakanku. Lagipula aku lebih kecil daripada kedua saudara tiriku itu. Di tahun kedua, ayah tiriku terlibat kasus korupsi di tempat ia bekerja dan ia pun dipecat dengan tidak hormat. Jadilah kami hidup hanya mengandalkan harta dari peninggalan ayah kandungku. Jika dulu aku berangkat kuliah menggunakan kendaraan masing-masing, maka sekarang aku harus rela berbagi dengan dua suadara tiriku itu. Lambat laun, mereka tidak lagi baik padaku sampai mereka berani memfitnahku.
Pernah suatu hari, ketika aku pulang kuliah menjelang azan magrib dengan alasan yang sudah aku utarakan pada ibuku sebelum aku berangkat. Sesampai dirumah aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam, lalu ibu membukakan pintu dan langsung menamparku dengan sangat keras. Selama aku hidup, belum pernah ibu memarahiku apalagi memukuliku. Aku terkejut, aku menangis.  Ayah tiri, kakak dan abang tiriku berdiri di belakang ibu dan tersenyum sinis terhadapku. Tanda bahwa mereka telah berhasil membuat ibu marah padaku. Belum sempat aku bertanya kenapa ibu menamparku, ibu menarik jilbabku. Aku menagis, aku menahan tangan ibu supaya rambutku tidak terlihat di depan ayah dan abang tiriku. Aku semakin bingung, aku sempat melihat ibu juga menangis.
“ Percuma ibu mengajari kamu ilmu agama jika kelakuanmu di luar sana hanya menjual diri..” Aku berhenti melawan.
 Kalimat yang baru saja ibu lontarkan membuat dadaku sesak. Kakak tiriku menunjukkan raut wajah menang. Dan aku baru sadar bahwa dialah yang memfitnahku pada ibu. Sebelum aku masuk ke kamar, sempat aku keluarkan kalimat yang membuat ibuku tidak kalah terkejut.
 “ Bu, selama ini aku cukup sabar bu, mereka boleh mengataiku apa saja. Aku diam. Namun, aku tidak akan diam jika mereka memfitnahku menjual diri. Asal ibu tau, mereka itu licik, mereka itu jahat, aku tidak akan pernah memaafkan mereka.” Aku berlari ke kamarku tanpa peduli apa yang terjadi dibelakangku. Samar aku mendengar ibu berteriak namaku “ Daniaaaaaaaa….”
Tanpa terasa aku telah sampai di tempat tujuanku. Sebuah taman yang banyak di datangi oleh muda mudi yang berpacaran. Aku menemukan sebuah bangku panjang yang hanya dibuat khusus untuk dua orang duduk. Aku membuka tas dan mengambil ponselku, aku membaca satu pesan singkat dari kenalan baruku yang mengatakan ia akan datang jam 8 dengan alasan yang bisa kuterima. Aku duduk menghadap ke arah jalan raya yang banyak dilalui oleh pejalan kaki. Tanpa sadar seorang pengemis mendatangiku.
“ Mbak, anak saya belum makan dari tadi pagi mbak..” seorang ibu dengan pakaian kumuh menjulurkan tangannya ke arahku.
Aku tahu maksudnya dan langsung aku keluarkan lembar lima ribuan untuk kuberikan kepadanya agar anaknya bisa makan. Aku memperhatikan gerak gerik pengemis itu. Ia seorang ibu yang rela menjadi pengemis hanya untuk membelikan anaknya sebungkus nasi, tiba-tiba air mataku mengalir, aku teringat akan ibuku sendiri. Tahun ketiga setelah ibu menikah dengan ayah tiriku, ibu lebih sering memarahiku, ibu berubah terhadapku, ibu tidak peduli lagi denganku. Bahkan aku lupa yang namanya diperhatikan. Ayah dan saudara tiriku pun semakin hari semakin bejat saja kelakuannya. Sampai suatu hari sebulan sebelum ibu pergi untuk selama-lamanya, ayah dan kakak tiriku pulang ke kampung halaman mereka dengan tujuan menjenguk kakak dari ayah tiriku yang sakit keras. Tinggallah aku dan ibu serta abang tiriku dirumah selama 3 hari. Dua malam abang tiriku pulang larut malam dengan membawa perempuan dengan pakaian yang tidak layak disebut pakaian (dan sekarang aku yang memakai pakaian seperti itu). Kemarahan ibu tidak ia hiraukan. Malam ke tiga ia pulang. Ketika kami sama-sama di dapur sedang makan, dia memandangku cukup lama dari kepala sampai kakiku. Aku merasa risih dengan sikapnya itu.
Ketika aku terbangun hendak shalat subuh, tidak sehelai pakaianpun melekat di tubuhku. Di sampingku ada seorang laki-laki yang tak lain adalah abang tiriku sendiri. ketika aku hendak berteriak, dia menutup mulutku dengan tangannya yang lumayan besar dan mengancamku.
“ Jangan coba-coba lapor pada siapapun, atau ibumu akan kubunuh dihadapanmu”,  Dia menamparku.
Aku terjatuh. Aku menangis dan dia dengan begitu saja keluar dari kamarku. Tidak sanggup rasanya aku bangkit untuk mengunci pintu kamarku, lagipula aku yakin ibu tidak akan masuk ke kamarku lagi.
Seiring berjalan waktu, aku merasakan perbedaan dari tubuhku. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa di dalam perutku sudah ada sebuah janin. aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, semakin hari perutku semakin membesar. Tidak ada yang peduli terhadapku. Sampai akhirnya aku menceritakan semua kejadian itu pada ibu dan tanpa sengaja kakak tiriku mendengarkan semua pembicaraanku. Dia muncul di antara aku dan ibu dan dengan gampangnya ia mengatakan bahwa aku membohongi ibu. Ibu lebih percaya akan omongan dia daripada kejujuran yang aku utarakan. Ibu semakin membenciku, setiaphari aku dicaci dan dimaki. Termasuk oleh ibuku sendiri. Rumah serasa neraka bagiku.
Hingga akhirnya aku melepaskan jilbab yang sedari SMA menemaniku. Aku mulai memakai pakaian yang terbuka. Tidak ada yang peduli kepadaku. Aku membeli obat supaya kandunganku hancur dan untungnya obat itu manjur. Tabunganku semakin menipis. Sejak aku tahu aku hamil, aku tidak lagi kuliah sampai saat ini. Sejak saat itu aku mulai sering keluar malam. Dan dengan mudahnya aku mendapatkan teman yang ingin membantuku. Sampai suatu ketika aku pulang menjelang pagi, suara tangisan terdengar sangat besar di rumahku, itu suara kakak tiriku. Aku berlari dan membuka pintu dan ku dapati ibuku tak bernyawa lagi. Ibu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Dan seketika itu akulah yang dijadikan sebagai penyebab ibu meninggal.
Jam menunjukkan tepat di angka 8 malam ketika seorang laki-laki yang umurnya 20 tahun lebih tua dariku berada tepat di sampingku. Dia menciumku dan aku membalas ciumannya.

Saatnya aku bekerja………. 


Penulis adalah mahasiswi Universitas Almuslim Jurusan Matematika dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Almuslim sebagai Bendahara Umum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar