Keteguhan Hati



Oleh Eka Rinika
Malam ini begitu mencekam, sungguh mengerikan. Semua yang berada di dekatku seakan-akan mendadak panik dan gugup karena kehadiranku yang tak terduga-duga. Kenapa Tuhan membawaku ke tempat ini, dengan kejadian yang tak manusiawi pula. Hingga, mata ini tak sengaja mengintip peristiwa keji yang dilakukan oleh pemabuk-pemabuk biadab di negeri India, tempat ku menuntut ilmu.
Wajah-wajah bringas itu menampakkan harimaunya, dengan ganas mereka merusak kehormatan seorang gadis lemah yang masih dibawah umur secara bergiliran. Mungkin hal ini merupakan kebiasaan manusia-manusia berandalan itu. Apalagi negeri India bebas tanpa aturan. Aku tercengang melihat mereka semua dan mangsa yang menjadi santapan malam. Setelah selesai menuntaskan nafsu bejat mereka pada gadis yang tak ku kenal itu, lantas membunuhnya lagi.

Perasaan takut berkali-kali menghampiriku, apalah daya aku hanya seorang pemuda lemah  yang tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong jiwa seorang gadis kecil saja. Aku tak punya keberanian untuk melawan mereka semua. Mereka berbadan besar, tegap, kasar, dan wajah-wajah itu seperti preman pasar. Tak tampak begitu jelas, karena pandanganku cukup jauh dari tempat kejadian. Ada beberapa orang saja yang berhasil teringat di pikiranku. Sekitar sepuluh orang lebih. Hanya rasa iba yang menyelimutiku malam itu.
Tangisan yang berbaris di pipiku tak akan membuat gadis itu bernafas lagi. Aku memang laki-laki pecundang, pengecut, dan apalah gelar yang paling buruk dan pantas ku sandang saat ini. Setelah beberapa jam aku bersembunyi dibalik ruko, aku berniat langsung pergi. Lalu meninggalkan tempat mengerikan itu secepatnya. Tetapi, aku takut ketahuan. Aku berada di ujung tanduk kematian. Tak ada yang mampu ku perbuat. Aku sangat ketakutan.
Untung saja, saat mereka lengah dan sibuk memberesi mayat gadis itu, aku langsung menarik langkah untuk pergi mengendap-endap dari pandangan mereka. Alhamdulillah tak satu pun dari gerombolan itu melihat kepergianku. Kalau sempat hal buruk menimpaku malam itu, mungkin nasibku akan sama seperti si gadis malang.
“Furqan........”
“Buka pintunya...........
“Furqan, ini aku Sahabatmu pulang..........”
“Buka pintunya.........”
Dengan nafas yang masih tersendat-sendat, aku mencoba tenang dan tidak terlihat seperti orang yang telah melihat peristiwa besar. Aku tak ingin sahabatku terkejut jika mengetahui peristiwa yang ku alami dan ku tonton tadi. Namun, akan kuceritakan pelan-pelan padanya setelah suasana hatiku mulai tenang.
***
Namaku Teguh, aku sudah dua tahun kuliah di Nizammuddin University negara India, dengan jurusan Tarbiyah Al-Quran. Kebetulan aku juga mahasiswa yang lumayan pintar di antara sahabat-sahabatku, he he he. Sedikit memuji diri, tapi memang benar ada yang bilang hal yang sama padaku. Tapi, aku bukan tipe orang yang suka membangga-banggakan diri. Buktinya aku hanya memberi tahu lewat tulisan saja.
Saat ini aku tinggal di asrama kampus Nizammuddin. Furqan adalah teman sekamar denganku, dia juga berasal dari Indonesia, kami sangat akrab. Tapi, Furqan orangnya agak lelet, walau aku juga banyak kekurangannya, di sisi lain kami mampu menutupi kekurangan dan berbagi ilmu. Kami sangat kompak bila diajak berdiskusi dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengetahuan agama.
***
“Ya Allah Furqan lama sekali, pasti dia masih tidur di dalam, Furqan buka pintunya...........”Pintaku dengan suara nyaring.
“Ia ia bentar, maaf ya.....”Ujar Furqan sambil menguap.
“Maaf maaf, capek tau teriak-teriak nggak jelas, tapi nggak ada respon”
“Aku keenakan tidurnya, jadi nggak denger waktu kamu panggil........”
“Kamu kenapa Guh, seperti orang yang habis di kejar-kejar setan gitu?” Tanya Furqan sambil tersenyum.
“Ia aku hampir saja di lindas oleh setan nyata”
“Maksudmu?
“Tadi, aku.....aku.......”
Aku masih takut dan ragu-ragu menceritakan hal ini pada Furqan, tapi Furqan malah mendesakku agar menceritakan apa yang telah ku lihat barusan.
“Aku aku apa?
“Yang jelas dong ngomongnya!” selidik Furqan.
“Tadi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri peristiwa kejam menimpa seorang gadis kecil. Kamu tau?
“Enggak, kan kamu belum ngasih tau…..he he he ”
“Yeah ini mau ngasih tau!”
“Pelakunya adalah manusia-manusia yang tak punya hati nurani”
“Tapi, aku tidak menolong gadis itu, aku hanya menyaksikannya dari jarak jauh, aku memang laki-laki pengecut, nyaliku ciut”, Ujarku sesal.
Setelah ku ceritakan semua peristiwa tadi pada Furqan sedetail-detailnya, bebanku sedikit berkurang dan perasaanku lebih lega. Semua ini berawal saat Furqan meninggalkanku sendirian di stasiun kereta api, aku pulang ke asrama sendiri. Kami memang diliburkan seminggu sekali pada hari jumat. Hari itu adalah kesempatan baik yang tak boleh dilewatkan. Ibarat burung yang baru keluar dari sangkarnya, rasanya senang sekali.
“Tapi, mereka nggak lihat kamu kan Guh?”Sergah Furqan khawatir.
“Alhamdulillah, Enggak. Jika itu sempat terjadi, mungkin aku nggak ada lagi di sini”sambungku lega.
“Alhamdulillah, yang penting kamu selamat. Peristiwa itu memang kerap terjadi di kota ini, dikarenakan umat Hindu lebih banyak ketimbang umat Islam. Ya udah kita tidur saja, besok kan kamu harus bangun lebih awal,” Tambah Furqan.
***
Besok subuh, aku akan kembali ke negeri asalku Indonesia. Di sana aku akan tinggal di Pulau Sumatra, Kabupaten Aceh Utara di daerah Blang Tufat. Aku ingin berhenti kuliah karena ekonomi keluargaku yang tak memungkinkan lagi. Walaupun aku mendapat beasiswa hingga bisa kuliah gratis di sini. Tetapi, bagaimana bisa aku hanya mementingkan pendidikanku sendiri sedangkan kedua adik perempuanku harus berhenti sekolah, itu tak mungkin ku biarkan terjadi.  Aku sangat menyayangi keluargaku, apalagi aku anak lelaki satu-satunya. Mereka sangat membutuhkanku. Aku tidak boleh egois.
***
Tibalah saatnya, setelah usai sholat shubuh, aku langsung berpamitan pada seluruh dosen dan sahabatku. Di antara mereka, Furqankanlah yang teramat sedih saat aku berpelukan dengannya. Ternyata dia bisa juga menangis. Selama bersama dengannya, aku hampir tidak pernah melihat air mata menetes di pipinya. Furqan selalu tertawa bahkan saat situasi genting. Sahabat ku ini punya karakter humoris yang kuat.
“Jangan lupa kasih kabar, kalau kamu sudah sampai di Aceh. Aku pasti merindukanmu Teguh.
“Oya kamu pasti balik lagi ke sini kan, ingat! Kuliah kita belum selesai lho” Ujar Furqan dengan mata berkaca-kaca.
“Tentu, aku pasti rindu denganmu, tapi kalau soal balik lagi ke sini, itu belum tentu”
“Nanti hal ini kubicarakan lagi dengan orangtuaku, aku pamit dulu. Jaga dirimu baik-baik, sob. Assalamu’alaikum” Sahutku sambil melambaikan tangan.
“Walaikum salam..........
“Semoga selamat sampai tujuan yaa........”
“Aamiin. terima kasih untuk semuanya…………”
Wajar jika Furqan merasa berat melepas kepergianku, itu karena kami telah lama bersahabat, suka duka kami lewati bersama. Kami juga sempat study tour di negeri yang sama, Malaysia dua bulan dan Thailand sebulan. Sungguh aku pasti merindukan sahabat-sahabatku. Sebelum kembali ke Indonesia, aku sempa bermalam di hotel, esoknya baru ku lanjutkan naik pesawat menuju Thailand lalu naik pesawat lagi menuju Malaysia. Pukul 08.00 wib aku naik kapal Ferry yang bertujuan kepulauan Riau. Tibalah aku di pelabuhan Tanjung Balai.
Perjalanan ini cukup melelahkan karena menghabiskan waktu yang sangat panjang. Di pelabuhan aku telah ditunggu oleh kedua orangtua ku. Mereka sangat bahagia menjemput kehadiranku. Rasa rindu yang telah lama tertumpuk dalam hati kini tercurahkan semua di pelukan Ibu dan Ayahku tercinta.
“kamu sehat, nak?” Ujar Ibu sedih
“Alhamdulillah Bu, Teguh baik-baik saja, Ibu dan Ayah bagaimana?”
“Alhamdulillah juga kami sama sepertimu, oya adik-adikmu tidak bisa ke sini, mereka menunggu kedatanganmu di rumah”Sahut ayah bahagia.
Dari pelabuhan aku dan orang tua ku naik mobil menuju Aceh selama kurang lebih 5 jam. Setelah itu barulah aku sampai di rumah. Kini ayah hanya bekerja sebagai kuli bangunan dengan gaji yang pas-pasan, sementara ibu mengurusi rumah dan keluarga. Sepertinya aku memang tak boleh bermimpi untuk melanjutkan kuliah di India. Aku terkejut menyaksikan perabotan rumah yang sedikit berkurang, aku kenal sekali dengan dekorasi rumahku, mungkin mereka menjualnya. Ternyata telah banyak perubahan yang ku temui, juga pada kedua adikku Isty dan Melisa mereka tumbuh menjadi gadis yang cantik. Di satu sisi aku merasa sedih dengan keadaan ekonomi keluargaku yang sangat rendah, tapi di sisi lain aku juga senang bisa berkumpul dengan mereka.
“Mel, gimana kamu sehat kan?”
“Sehat kak, kakak sendiri?”sahut Melisa
“iya, kakak juga sehat, kamu mengambil formulir di Universitas mana?”sambungku
“Unimal, ya udah kakak istirahat aja sana, kakak pasti lelah seharian gonta-ganti kendaraan”
Aku langsung ke kamar dan ibu juga menuju ke kamarku.
“Teguh, Ibu mau bicara Nak, boleh Ibu ganggu sebentar?
“Tentu Bu, memangnya ada apa?”tanyaku penasaran
“Ibu mohon kamu jangan punya pikiran untuk pergi lagi ke India, kalau kamu mau kuliah, kuliah di sini saja nak”.
“kebetulan Universitas Almuslim sedang membuka pendaftaran calon mahasiswa baru, kamu mau menuruti kata-kata Ibu kan Nak?” ujar Ibu menatap mataku dalam-dalam.
Ada perasaan tak tega yang sangat menguasai hati Ibu. Beliau tahu bahwa keinginan dan cita-citaku adalah ingin berhasil di negeri orang. Tapi, dengan keadaan ekonomi keluarga yang sangat tidak memungkinkan. Mau tak mau Ibu harus menyampaikan hal ini padaku, walau dengan berat hati aku akan tetap berbakti dan menuruti kata-kata Ibu. Ini semua demi adik-adikku. Yeah aku sangat menyayangi keluargaku.
“Terserah ibu saja, yang penting Teguh bisa kuliah, walau harus mengulang dari awal, Teguh tidak apa-apa, asal ibu dan semuanya bahagia” sahutku walau dalam hati sakit rasanya.
***
Akhirnya aku kuliah dengan jurusan yang berbeda. Tapi kali ini aku kuliah bukan karena beasiswa melainkan aku harus membiayai kuliahku sendiri.
“ibu sudah cukup pusing dengan permintaan kedua adik-adikmu….”perkataan itu selalu membayangiku agar aku tidak menyusahkan orangtuaku, tapi aku harus mengurangi beban hidup mereka.
“tidurlah Nak, dari tadi ibu asik mengganggumu, besok ibu akan pikirkan pekerjaan yang cocok untukmu” ujar ibu sambil menyelimutiku.
***
Lima bulan telah berlalu begitu cepat. Sekarang aku kuliah di Universitas Almuslim, FKIP Pendidikan Bahasa Inggris, aku menyukai pelajaran ini, apalagi keinginanku untuk menguasai bahasa arab sudah tercapai, kini tinggal bahasa inggris yang ingin ku mantapkan. Aku punya dua cita-cita yang pertama ingin membuka perpustakaan di kampung dan kedua aku ingin mendirikan balai pengajian, lalu murid-muridku akan ku ajarkan dua bahasa tersebut. Buku-buku satu rak penuh di kamarku itu adalah hasil jerih payahku dagang bakso. Yeah, saat ini aku menjadi mahasiswa yang pekerjaan sampingannya menjual bakso. Aku tidak malu dengan pekerjaanku itu, justru, aku sangat bersyukur, karena Allah masih memberikan rahmat-Nya padaku.
Di malam hari ibu yang membuat bakso dan goreng-gorengan. Lalu keesokan harinya aku kuliah sambil dagang bakso. Bakso Lovers dengan harga yang dapat dijangkau oleh mahasiswa. Rasanya enak sekali. Sedikit promosi. He he he.
“Pak saya minta izin untuk jualan di pekarangan kampus, bolehkan Pak?”pintaku pada satpam kampus timur.
“maaf ya Dik, kalau adik mau jualan di luar kampus boleh, asal jangan di halaman kampus” sahut pak satpam.
“ya udah pak di luar juga ga apa-apa, terimakasih….”
            Awalnya aku sangat banyak mendapat hinaan dan cacian dari satpam-satpam di kampus ini, bahkan baksoku tak laku terjual seperti harapanku. Tapi aku tak boleh patah semangat, aku yakin pasti suatu saat nanti daganganku dikerumuni pembeli. Di waktu senggang aku menggunakan kesempatan itu untuk membaca buku walau di tengah teriknya matahari, masuk tidak masuk ke otakku, yang penting aku belajar.
***
            Terakhir aku mencoba jualan di kampus induk. Dengan harapan diijinkan oleh pemilik kampus. Semoga mereka mau berbaik hati padaku.
“Pak saya boleh minta izin jualan di sini? “ ujarku lembut.
“Boleh-boleh saja, tapi kamu harus menjaga kebersihan di kampus ini ya!” sahut pak satpam.
“Iya pak, terima kasih banyak…..”
            Beberapa saat kemudian...
“Ini dagangan siapa? Siapa yang ngasih izin tukang bakso berkeliaran di kantin kampus”ujar kakak pengurus kantin galak.
“Itu punya saya kak, memangnya kenapa? Saya sudah minta izin sama pak Ilyas dan satpam di sini” Risau….
“Plastik-plastik bersaus ini telah mengotori lantai, coba kamu lihat, kalau ingin jualan di sini setiap hari kamu harus sapu dan pel lantai ini, ngerti!”ujar kakak itu tambah galak.
              Banyak rintangan yang sudah aku lalui. Itu adalah cobaan dari Tuhan, tapi dengan kejadian itu semua do’aku terkabulkan. Alhamdulillah semenjak aku jualan di kampus ini baksoku mulai laris manis. Itulah perjuangan dan ketabahanku meraih cita-cita dan harapan keluarga. Malam ini keluargaku terlihat sangat  bahagia. Moment ini akan menjadi moment terindah dalam hidupku. Dimana aku bisa kumpul bersama dan bercanda ria dengan keluargaku.
“Jujur dan ramah itu adalah kunci sukses dalam bekerja, jangan hanya mengandalkan otak saja, tapi kita harus menjadikan pembeli itu raja, agar mereka betah dengan apa yang kita tawarkan,“ kalimat  itu yang dibisikkan ayah ke telingaku setiap kali sebelum aku berangkat kuliah.
              Aku sudah cukup lelah dengan ocehan-ocehan tak sedap di kampus, inilah saatnya aku bisa melupakan kejadian tersebut. Setidaknya, aku masih diberi berkah oleh yang Maha Kuasa, mempunyai keluarga lengkap dan aku masih mampu membiayai kuliahku sendiri dan adik-adikku. Untuk ke depan ku pasrahkan semua pada-Nya, semoga saja cita-citaku tercapai.
Penulis adalah mahasiswi Universitas Almuslim Jurusan Bahasa Indonesia dan anggota aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Almuslim. Email: ekarinika91@gmail.com. Facebook : Eka Rinika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar