Aku


Oleh Eka Rinika

Aku masih tertidur di pulau kapuk yang indah. Dengan sejuta mimpi tentang cinta dan sahabat. Sungguh berlayar dalam keindahan pulau sumatera mengasyikkan sekali. Kadang aku lupa bahwa peringatan Bunda tentang segala aktifitas yang sering ku lakukan ini masih saja sia-sia. Yeah, aku gadis pemalas dan suka tidur. Bunda benar dengan segala pernyataannya, aku anak ke tiga dari delapan bersaudara. Namaku Siti Zulaikha, kata orang aku cuek dan tidak ramah.
Padahal tidak seperti itu adanya. Sebenarnya aku tidak suka mencampuri urusan orang lain, selain tidak suka bergaul dengan masyarakat desa, aku juga dijuluki anak kost-kost’an yang kerjaannya numpang tidur dan numpang makan saja oleh saudara-saudara ku sendiri.
Semakin terik saja mentari di luar sana, aku masih berada dalam selimut berwarna ungu. Selain sudah tua, selimut kesayanganku ini juga sudah robek di sana-sini. Tapi aku tidak pernah membuangnya dan menggantinya dengan yang baru. Bukan karena aku tidak punya uang untuk membeli yang baru. Tetapi, selimut itu semakin lama semakin sejuk saja rasanya.
Rasanya tidak enak lagi tidur-tiduran dan bermalas-malasan, karena cuaca semakin menghantarkan kilau panasnya. Bunda menyuruhku untuk mencuci piring, tapi aku  masih saja membolak-balikkan badanku di atas ranjang persegi empat itu. Masih melanjutkan mimpi-mimpi tentang pangeran dalam awang-awang. Segala mimpi itu hanya ilusi dan harapan kosongku saja.
”Siti, bangun……! Jam segini kamu masih tidur, lihatlah matahari di luar sana. Apa kamu tidak malu dengan kakak dan adik-adikmu yang sudah melakukan aktifitasnya pagi-pagi sekali!” Ujar Bunda marah.
Aku langsung menghamburkan diri ke dapur dan melaksanakan perintahnya. Ku lihat kondisi rumah masih sangat berantakan, seragam adik-adikku yang masih SD tergeletak di atas lantai yang kotor dan berdebu, handuk-handuk basah mengitari perjalananku ke sumur. Ku pandangi seluruh ruangan tengah yang masih gelap dan tidak beraturan. Jendela masih tertutup rapi dengan gorden yang terlihat kusut. Untung saja warna yang digunakan adalah warna cerah, jika tidak, tampak seperti rumah hantu peninggalan nenek tua dengan seorang gadis berambut panjang persis seperti mimpiku. Aku pernah bermimpi bahwa rumah tempat tinggalku dulu ada penunggunya. Ih serem.
Baiklah, mari mulai bekerja. Ku ambil semua baju-baju, handuk yang berserakan lalu ku letakkan di tempatnya masing-masing. Setelah itu, ku rapikan kamar dengan segala barang yang berserakan di dalamnya. Lalu , ku akhiri dengan menyapu lantai, sasaranku semua ruangan, mulai dari dapur, ruang tengah, ruang tamu, dan teras harus bersih.
***
Sudah pukul 11.00 WIB. Saatnya cuci piring, mandi, dan berangkat ke kampus.
”Tunggu dulu giliran Ayah ke kamar mandi, makanya kalau bangun jangan selalu kesiangan, beginilah akibatnya bila malasmu itu terus saja kau pelihara,”Ujar Ayah menasehatiku.
Aku hanya diam mendengarkan omelan Ayah. Sambil menunggu, aku melihat apakah ada makanan yang bisa menghilangkan lapar di atas meja makan. Ternyata masih ada sebungkus mie goreng, itu pun sisa adikku tadi pagi, tak sempat ia habiskan. Ku lahap mie itu tanpa memperdulikan panggilan Bunda. Setelah selesai makan mie, lalu ku sambung dengan menonton TV.
Ayah mandi lumayan lama. Persis mandi anak gadis yang mau ketemuan dengan sang pujaan hati, bisa sejaman gitu.
Yeah, aktifitasku memang banyak yang tak berguna. Tapi inilah kesenanganku yang tak bisa di ganggu gugat oleh siapapun, kecuali kedua orangtuaku. Walau tingkahku menyebalkan aku sangat menghormati dan menyayangi keduanya.
Sepertinya Ayah sudah selesai, ku lanjutkan dengan pekerjaan wajib setiap hari yaitu mencuci piring. Bunda, maafkan aku karena aku malas mencuci piring. Biarlah hidup ini sepi sendiri di sudut keran air. Namun, kapan aku tak lagi sendiri, aku butuh cinta dan kasih sayang. Butuh perhatian darimu Bunda, butuh keadilan darimu Bunda, janganlah kakak dan adik saja yang Bunda berikan apa yang mereka minta. Aku juga ingin merasakan kebahagian seperti mereka.
Pikiranku mulai mengawang dan membuka masa lalu.
Memang aku suka mencela dan bertengkar dengan kakak dan adik, itu semua karena ketidakadilan yang ku rasakan sejak kecil. Abang, kakak, adik selalu mendapatkan apapun, tetapi aku selalu saja penuh alasan ini itu saat ku coba pinta inginku Bunda. Maafkan aku Bunda. Maafkan aku, aku tidak bermaksud menggugatmu. Namun sekedar mengeluarkan isi hati. Kepada siapa lagi kalau bukan Bunda, tapi tak pernah ini ku sampaikan. Aku senang bicara pada angin, bicara pada hujan, tertawa sendiri, kadang menangis dalam sunyi sepi, sampai malam tiba tertidur dalam lelahnya derai air mata menetes di pipi.
Ingatanku tertuju sekitar sepuluh tahun yang lalu saat meminta sepeda baru milik kakak, namun Bunda bersikeras mengatakan tunggu izin dari kakak, kalau tidak dia akan marah. Ku tunggu kakak di pintu sambil duduk melihat langit-langit. Tak pulang-pulang hingga senja mulai menyapa. Padahal inginku hampir hilang, aku putus asa dengan keputusan Bunda. Ah, tak boleh berburuk sangka. Maksud Bunda kan baik, aku tidak boleh memakai kepunyaan kakak, karena sepeda itu bukan milikku. Di ujung penantian ternyata sang muadzin melantunkan suara adzan yang sangat indah. Ingatanku lepas, senyap menyimak adzan yang mendayu dan merdu, mendamaikan relung hati. Aku sangat bahagia bila mendengar suara merdu imam masjid di kampungku. Suaranya memecah kesunyian dan membuat jiwa-jiwa damai.
“Bunda… kakak belum juga pulang, bolehkah setelah magrib aku menggunakan sepedanya sebentar saja ke warung depan, aku ingin membeli permen Bunda, boleh yaaa?” Rayuku
Bunda hanya diam dengan wajah yang mengisyaratkan bahwa sepeda itu tak boleh ku gunakan. Baiklah, aku tidak meminta lagi. Langsung ku hamburkan diri ke dalam kamar sambil bertanya pada diri sendiri, apa salahku Tuhan, aku hanya ingin menggunakan sepeda baru itu sebentar. Hanya sebentar. Tapi begitu sulit rasanya menjadikan ingin itu menjadi nyata.
Ku dengar di luar sana suara-suara berisik, sepertinya kakak sudah pulang. Rupanya kakak sedang ngobrol dengan Bunda, ku dekati mereka, lalu ku pegang tangan kakak sambil memohon diberikan sepedanya sebentar. Heumm, kakak marah padaku. Dia masih ingat kemarin aku mengabaikannya saat teman-temannya datang ke rumah. Dia menyuruhku menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk teman-temannya. Namun, aku tidak menuruti perintahnya. Yeah, kakak pantas marah. Maka keinginan ini harus ku tutup rapat-rapat.
Kata orang seharusnya kakak bisa memberikan yang terbaik untuk adiknya, memberikan kasih sayang yang Bunda lupa berikan pada kita, mengalah demi kebaikan adiknya. Tetapi itu tak kurasakan sampai sekarang. Bila pulang ke rumah seusai kuliah atau pun jalan ke rumah teman, aku hanya jadi bulan-bulanan kemarahan mereka saja. Kadang menjadi lelucon atas kelakuanku yang sangat menyebalkan bagi mereka. Setiap hari menyepi di dapur, kadang ku habiskan waktu dengan mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Pokoknya aku tidak pernah terlihat akrab dengan semua saudara dan Bunda.
Inilah hidupku, aku habiskan dengan kisah panjang tak bermakna. Bila hujan turun membasahi bumi. Inilah kebahagian yang orang lain tak bisa rasakan. Ku resapi butiran hujan yang mengenai wajahku. Lalu ku rasakan percikan air dengan tanganku, aku mengerti hujan bisa berikan kedamaian yang tak bisa ku rasakan hangatnya kasih sayang dari Bunda. Punya keluarga besar bukan jaminan tidak kesepian. Mungkin ini balasan atas tingkahku yang selalu bertentangan dengan keinginan Bunda, selalu menentang, senang diam dan membisu bila diajak bicara. Aku benci ini semua. Aku benci pada diriku sendiri. Sampai kapan? sampai kapan ini terus terjadi. Bagaimana caranya aku mengubah sikapku. Aku tidak akan paham sebelum Bunda mau mengecup keningku lalu memelukku seperti abang, kakak, dan adik. Aku memang berbeda Bunda, tapi aku belum paham mengapa aku bisa berbeda dengan lainnya. Maafkan aku Bunda….
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar