Aceh Lumbung Pemimpin Perempuan Hebat


Bireuen- Aceh sejak zaman dahulu merupakan daerah yang selalu mempunyai pemimpin hebat yang berjenis kelamin perempuan. Bahkan tidak sedikit diantaranya menduduki jabatan Sulthanah (Raja perempuan). Baik itu di Kerajaan Islam Peureulak, Pasai,maupun Aceh Darussalam.
Di era kerajaan Islam Aceh Darussalam, kedudukan perempuan diakui setara dengan laki-laki dalam bidang politik. Mereka diberikan jabatan apa saja yang disukainya dengan kriteria yang telah ditetapkan. Bukan hanya bicara hak, dimasa lampau itu, kewajiban perempuan juga dibebankan untuk membela dan memajukan kerajaan.
Seorang ulama Aceh yang bernama Syeckh Jalaluddin Tursani,dalam kitabnya Safinatul Hukkam (Bahtera Para Hakim) yang dikarang pada tahun 1721 M menyebutkan bahwa: Pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam kerajaan. Wanita boleh menjadi raja atau sultan asal memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Demikian penjelasan Muhajir Juli, pemateri pada diskusi public kepemimpinan, yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Suara Almuslim (LPMSA), Kamis (11/12/2014) di aula kampus Induk Universitas Almuslim, Bireuen.
Muhajir juga menambahkan, dimasa kegemilangan Aceh, nama-nama perempuan mentereng di zamannya. Sebut saja Putri Lindung Bulan (Puteri Sri Kandee Negeri) dari Kerajaan Islam Tamiang –subordinasi dari kerajaan Islam Peureulak-. Puteri tersebut adalah pemain di belakang layar bagi strategi politik Tamiang, Raja Muda Sedia, yang memerintah tahun 735-800 Hijriah.
Kemudian ada pula Putri Kamaliyah (Putroe Phang) yang selalu menjadi penasehat politik Sultan Iskandar Muda. Di Pase ada Sulthanah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu. Kemudian di Aeh Darussalam, sepeninggal Muda dan iskandar Tsani, ada Sulthanah Safiatuddin, Suthanah Naqiatuddin, Sulthanah Zakiatuddin, dan Sulthanah Kamalat Syah.
Di medan laga, tambah Muhajir, Aceh juga punya pejuang yang luar biasa. Sebut saja Laksamana Keumala Hayati, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, Teungku Fakinah. Pocut Meurah Intan dll.
Dilanjutkan oleh Muhajir, masa lalu bisa dijadikan iktibar bahwa perempuan juga mampu menjadi pemimpin yang hebat. Sejarah mencatat itu. Akan tetapi karena banyak diantara masyarakat Aceh yang a historis sehingga tidak mengetahui tentang kehebatan kaum hawa. []
Laporan: Nurmulya Safittri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar